Minggu, 02 Agustus 2009

“AQJAGA”

TRADISI MAKASSAR
YANG BANGKIT KEMBALI



Malam baru saja sempurna menyelimuti dirinya dengan kelam. Kampung Parangbanua yang biasa sepi masih menunjukkan beberapa aktitivitasnya. Beberapa warga desa masih kelihatan mondar-mandir terutama di sekitar rumah Sissi Daeng Cini. Di rumah keluarga yang sederhana ini sedang dilangsungkan upacara tradisi “Aqjaga”.

Dalam masyarakat Etnik Makassar upacara tradisi Aqjaga sudah berlangsung sejak masa kejayaan kerajaan Gowa. Bahkan diperkirakan tradisi ini sudah dilakukan oleh masyarakat Makassar sebelum Islam menjadi agama resmi kerajaan Gowa pada abad ke 17.
Tradisi ini terikat oleh sistem kepercayaan lama yang bersifat animisme-dinamisme. Dalam perjalanan waktu sestem kepercayaan dan upacara “aqjaga” tersebut bersingkritisme dengan agama Islam. Beberapa bagian dalam upacara menunjukkan unsur-unsur tradisi agama Islam. Meskipun demikian upacara tradisional tersebut masih sangat kental unsur kepercayaan lamanya.
Upacara Aqjaga biasanya disenggarakan untuk memenuhi atau melaksanakan nazar (tinjaq), tolak bala (songkabala), upacara khitanan (assunnaq) atau pada acara kematian. Upacara ini bertujuan untuk menyampaikan rasa syukur, memohon perlindungan dari berbagai mara bahaya dan memohon berkah dari Tuhan Yang Mahakuasa. Dalam pelaksanaannya permohonan itu juga ditujukan kepada arwah lehuhur yang bersemayam dalam kalompoang.
Dalam upacara “aqjaga” dilakukan beberapa rangkaian acara dengan menghadirkan beberapa unsur pendukung yang wajib ada dalam upacara tersebut. Pendukung utama acara ini adalah sanro dan pinati (dukun/penjaga pusaka) sebagai pemimpin upacara, tarian (pakarena), pemusik gendang (paganrang), penari ritual (pasalonreng), dan pesenandung (paroyong).
Acara aqjaga pada jaman dahulu biasa berlangsung selama 7 hari 7 malam, namun dewasa ini acara aqjaga sudah semakin diringkas sehingga hanya berlangsung selama 3 hari dua malam saja. Namun demikian rangkaian acara sedapat mungkin tetap tercakup seluruh upacara tradisi yang selalu dilaksanakan. Acara-acara tersebut antara lain; ulu jaga, akkorontigi, appanaik, appanaung, appalili, akkereq tedong, akkattereq, aqlekkaq, annyori, aggosoq isi, appakarena, agganrang, aqroyong, assalonreng, dan lain-lain sebagainya.



Acara ini dimaknai oleh para keluarga/ masyarakat di Gowa sebagai penghormatan kepada para orang tua dan leluhur mereka, di samping itu mereka menjaga ikatan kekeluargaan mereka dan saling bergotong royong. Dalam acara ini anggota keluarga dan kerabat berkumpul dan memberikan dukungan. Selain memberi dukungan moril juga memberikan dukungan materil.
Dalam acara aqjaga semua keluarga berkumpul baik yang ada di dalam kampung maupun yang berada di luar daerah. Bahkan mereka yang berada jauh dari kampung halaman dan tidak sempat hadir akan mengirimkan sumbangannya sebagai pertanda keikutsertaan mereka dalam kegiatan ini. Seluruh keluarga yang hadir menunjukkan terlibatannya secara aktif dalam upacara. Paling tidak terlibat dalam senda-gurau atau mengerjakan sesuatu secara bersama, misalnya mendirikan tenda, membangun Baruga, perempuan bagi kaum wanita dan lain-lain sebagainya.
Para undangan yang datang berkunjung ke acara aqjaga ini, selain membawa aplop sumbangan (annyori )merekapun akan merekapun akan menjinjing (aqbinting) suatu barang kebutuhan sehari-hari seperti gula, the, kopi, sabun cuci, terigu, minyak goreng, dan lain-lain sebagainya. Semua sumbangan tersebut baut amplop annyori maupun barang nibinting akan dicatatat oleh panitia penyelenggara (keluarga).
Dalam upacara akkereq tedong masyarakat akan berkumpul dan akan mendapat pembagian potongan-potongan daging yang kemudian mereka memanggangnya masing-masing. Sisanya akan dimasak di dapur dan dimakan bersama.



Menjelang penghujung acara penyenggara melakukan acara annyori torikale. Acara ini adalah menerima bantuan dan sumbangan semua pihak keluarga. Mereka yang memberikan partisipasinya akan menyetor sejumlah uang kepada panitia yang sudah duduk di atas Baruga.Uang yang disetorkan akan dikumpulkan di sebuah dulang besar. Para keluarga akan memberikan sejumlah sumbangan mulai dari puluhan ribu, sampai jutaan rupiah. Semua sumbangan itu dicatat oleh panitia yang akan diserahkan kepada tuan rumah. Dana annyuri ini akan menutupi biaya yang telah dikeluarkan oleh tuan rumah sebagaim pelaksana upacara. Dana yang terkumpul inipun akan menjadi utang bagi Daeng Sissi yang harus dibayar pada saat para penyumbang itu melakukan kegiatan yang sama pada waktu yang akan datang. Jumlah yang harus dibayarkan harus senilai/ sebesar atau lebih dari dana yang tercatat.
Dalam upacara aqjaga banyak pelajaran sosial dan budaya yang dapat diperoleh, antara lain pelajaran tentang gotong royong dan kebersamaan, tentang saling hormat menghormati, saling menjaga kehormatan dan harga diri, dan lain-lain sebagainya. Semua nilai-nilai budaya tersebut dewasa ini sudah banyak terkikis oleh perkembangan zaman.

1 komentar: